Sebagian orang mengatakan,”Tidak terkeculali tentang isu
yang sangat hangat diperbincangkan saat ini, yakni tentang momok dunia berupa
AIDS dan momok nasional berupa,Penista Agama versus Penista
Negara-pancasila,secara apriori penyebarannya dinisbahkan kepada aktivitas
sumbang kaum wanita,dan kaum penista Negara.Pada ahirnya secara (subjektif)
dunia menyimpulkan,bahwa wanita dan penista negaralah sumber malapetaka di
bumi”.
Kalau kita pantau cara pandang penyimpulan di atas, mungkin
sangat janggal kedengarannya kalau hanya
memihak pada satu projek saja, akan tetapi bila kita ukur dengan alat yang berketelitian tinggi
semestinya ukuran beratnya menjadi sangat barito/sangat kotor.
Bermula kajian kita soal “AIDS”yang disubjektifkan sebagai
biang keladi penyebarannya adalah kaum hawa adalah vonis negatif berat sebelah
dan tidak adail terhadap kaum wanita,bahkan kerusakan multidimensi yang melanda
generasi modern,tentu tidaklah adail jika penyebarannya dinisbahkan di
atas pundak kaum ibu kita.
Fenomena ketidakadilan ini juga menyerang orang yang mereka
anggap sebagai penebar kebencian kepada Negara dan pancasila.Disinilah kita hai
para tokoh-tokoh Negara, tokoh-tokoh agama…..Bersihkan alat pencitraan kita
masing-masing, jangan hanya memutuskan masalah keadilan dengan “teori bahasa saja”sesuaikan dengan fakta
integritas suatu masalah supaya hasilnya nanti tidak melulu verbalitas, karena
apalah artinya sebuah bahasa kalau tanpa bersaksi, tanpa kenyataan.Padahal
kalau vonis yang hanya berstandarkan bahasa biasanya akan memanjanglebarkan
sebuah kasus, ingat kaasus Miranda !,apakah pihak pihak kejaksaan tidah merasa
rugi fikiran, uang,dan waktu ?,lebih ironisya lagi berjuta para pamirsa yang
menyaksikan berita inipun diajak ikut merugikan waktu,pikiran,dan uang yang
sama seperti Pak Hakim dan terdakwa di pengadilan.
Di dusun pedalaman tempat tinggal kami tinggal sebagai
pemelihara kambingpun merasakan efek kerugian material,karena sedang
enak-enaknya berencana akan mencari pakan kambing tergoda oleh “si berita” itu tadi,makanya
banyak kambing yang kelaparan.Ini kan sebuah kenyataan yang sulit dihakimi oleh
filsafat bahasa.
Ya,…karena ini dan sekarang kita berada di ujungnya para hari ramadlan di
bulan ini, maka tak baiklah kita melewati batas berbahasa, Saya menyampaikan
unek-unek inipun karena merasa sangat kasihan terhadap Negara yang sama kita
cintai bareng ini, pihak pemerintahpun lebih tambah susah lagi melihat berjuta
rakyat-masyarakatnya dalam kebingungan kayak Obing si “Orang Bingung”.Saya juga
tak tega berkata seperti itu tapi itulah yang saya saksikan di
tv,radio,Internet,suratkabar,dan majalah-majalah,mungkin juga Anda ?....Sekali
lagi saya minta ma’af karena mungkin di hari fitrah besok kita tak saling
bersua, sebelum lebaranny……. saya ucapkan,”Minal ‘aidin walfaa izin plus
makbul”.Wassalam.
Wallahul mu''afiqu wal hadi ila syabilirrasyad summa ssalamu'alaikum wr.wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar